Pada tanggal 26 November 2011, gue pernah ikut Ekspedisi Sungai Brantas.
Pada Ekspedisi kali ini, dihadiri oleh jajaran pejabat termasuk Bapak Walikota
dan dari pihak Radar Kediri. Nah, gue pengen banget ikutan event ini untuk
referensi penelitian gue, bukan hanya untuk ikut lomba menulis aja, gue juga
ingin menjadi observer mengenai
ekspedisi budaya Sungai Brantas. Hasil ekspedisi ini juga dibukukan lo oleh
pihak Radar Kediri. Kebetulan, gue lagi
tertarik meneliti tentang bangunan-bangunan bersejarah dan berpengaruh di Kota
Kediri yang kebetulan posisi bangunan itu ada di tepian Sungai Brantas. Apa aja
sih Bangunannya... ini dia :
Masjid Agung Kediri :
Bersamaan dengan mundurnya kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur
munculah kekuasaan baru dengan warna Islami di bawah kekuasaan kesultanan.
Agama Islam mendapatkan perhatian tinggi dan diurus melalui tatanan struktur
Pemerintah Kesultanan. Di setiap dusun, desa, kecamatan dan kabupaten ada satu
lembaga keagamaan. Sampai sekarang masih dapat kita kenali istilah Pengulu
Dalem, Pengulu Ageng, Ketib dan Naib. Di setiap Kota Kabupaten masih lestari
adanya Masjid Agung yang diurus oleh Pemerintah yang biasanya selalu
berdampingan dengan Kantor Bupati dan Alun-Alun, demikian pula halnya di Kediri.Begitu pula di Kota
Kediri, Masjid Agung Kota Kediri tepat berada di depan alun-alun kota. Sangat
gampang ditemukan, karena berada di tepat di samping perempatan dimana semua
kendaraan umum yang masuk dan keluar Kediri, selalu melintasinya. Dari luar
bangunan bertingkat tiga ini kelihatan sangat megah, apalagi ditambah dengan
menara setinggi 49 meter dan air mancur yang berada di depannya. Nuansa gaya
Roma sangat terasa dalam masjid agung, ini bisa dilihat dari seni mozaik marmernya,
hiasan di atap masjid dan hiasan cungkup masjid serta banyaknya tiang yang ada
yaitu sebanyak 106 buah tiang kolom. Meski bergaya ala Eropa klasik kita
masih tetap akan menemukan nuansa etnik di dalamnya, yaitu ukiran kaligrafi
dari kayu yang menjadi ciri khas sebuah masjid. Luas Masjid Agung sendiri
sebesar 1388,8 m 2 untuk lantai dasarnya, sementara lantai 1 seluas 1335,1 m 2
dan lantai dua seluas 396,8 m 2 . Berdiri di atas tanah seluas 4780,6 m 2
Masjid Agung memiliki jumlah pintu utama 15 buah dan pintu Bantu sebanyak 12
buah. Para jemaah pun dijamin dengan fasilitas parkir yang luas dan urinoir,
kamar mandi, wc serta kran wudlu yang disediakan. Ada 80 buah kran wudlu yang
disediakan untuk jemaah pria dan 15 kran untuk jemaah wanita. Bagian untuk
fasilitas ini dibuat lorong memanjang sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi
para penggunanya (Sumber: Buku Ekspedisi
Budaya Sungai Brantas Radar Kediri).
Gereja Merah :
Gereja Merah didirikan pada 21 Desember 1904. Gereja Merah beralamatkan di
Jalan KDP Slamet 43, RT 1/1, Kelurahan Bandar Lor, Mojoroto, Kota Kediri.
Lokasi Gereja Merah yang berada di sisi barat sungai termasuk strategis. Dulu
area gereja dan sekitarnya adalah pusat pemerintahan, baik saat zaman kolonia
Belanda maupun pemerintahan Republik Indonesia. Gereja tertua di Kota Kediri
ini disebut Gereja Merah karena warna dindingnya yang tetap dipertahankan
hingga kini, yaitu merah. Warna merah di Gereja Merah aslinya berasal dari
warna bata. Natural dan mirip dengan bangunan bata ekspose yang sedang tren
saat ini. Gereja ini pertama kali bernama Kerkeraad
der Protes tancthe Gemeente te Kediri atau Gereja Protestan Jemaat Kediri.
Nama itu tak lepas dari maksud pendiriannya, yaitu sebagai gereja untuk jema’at
Protestan yang berdomisili di Kediri dan sekitarnya. Mereka mayoritas adalah
orang-orang Belanda baik asli maupun yang tinggal di Kediri.Gereja Merah sempat mengalami kekosongan pendeta
cukup lama sepeninggal Broers. Sebab, tidak ada lagi pengaderan. Walau demikian
warga pribumi tetap menjaga Gereja Merah. Namun, kondisi membaik setelah tahun
1974, dan mulai diadakan pemugaran gereja karna mulai ditemukan sejumlah
kerusakan (Sumber: Buku Ekspedisi Budaya Sungai Brantas Radar Kediri).
Klenteng Tjoe
Hwie Kiong :

Keberadaan klenteng Tjoe Hwie Kiong di tepian Sungai Brantas berperan
penting dalam pembentukan karakter masyarakat Kediri. Tjoe Hwie Kiong berarti
kebajikan. Klentheng ini berdiri di Jalan Yos Sudarso yang masuk wilayah
Kelurahan Pakelan, Kecamatan Kota Kediri. Bangunan ini khas dengan dominasi
ornamen kombinasi warna merah dan kuningnya. Selain wana, lokasina juga
strategis. Yaitu, di pojok Jalan Yos Sudarso. Ini adalah rute yang dilewati
kendaraan yang hendak menuju Surabaya. Klenteng yang dikelola oleh Yayasan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) THK itu
menghadap ke barat, persis ke Sungai Brantas karna alasan hongsui yang dianggap
pas, yakni pemandangan yang langsung menghadap gunung, pohon dan air . Tidak ada yang tahu pasti tentang tahun pendirian
klenteng yang menjadikan Dewi Makco Thian Siang Sing Bio sebagai dewa utama
ini. Pengurus klenteng pun juga tidak mengetahuinya. Karna semua catatan hilang
ketika terjadi banjir bandang Sungai Brantas yang merendam setengah bangunan
klenteng pada tahun 1955. Pengurus hanya memperkirakan klenteng dibangun
sekitar 100 tahun setelah warga Tionghoa beramai-ramai merantau pada 1700-an.
Mereka masuk Nusantara lalu menyebarbke berbagai daerah, termasuk Kediri.
Klenteng ini dibangun dengan cara urunan.
Tempat ibadah itu diperuntukkan semua warga Tionghoa. Baik yang beragama
Konghucu, Budha, maupun Tao. Karena itulah, klenteng disebut sebagai tempat
ibadah tri dharma.
Bukan hanya
masjid agung kediri, gereja merah, dan klenteng Tjoe Hwie Kiong, namun beberapa
pesantren, industri tahu kuning, dan lokalisasi semampir juga terletak di
tepian Sungai Brantas loh. Sungai Brantas memang sungguh bersejarah bukan?
0 Response to "Ekspedisi Budaya Lembah Sungai Brantas Kota Kediri"
Posting Komentar